Friday, May 10, 2013

Keramahtamahan Yang Menyembuhkan

Konflik dan kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia telah melahirkan banyak korban jiwa dan pengungsian. Anak-anak dan orang-orang biasa yang tak bersalah seringkali harus menanggung derita yang sulit dimengerti atau mengalami kematian. Banyak orangtua tersayat jiwanya menyaksikan anak-anak terenggut oleh kekejaman perang. Banyak anak harus mengalami kesepian dan keterasingan karena kehilangan ayah atau ibu yang pernah mendekap mereka dalam kasih sayang. Derita dan kematian yang tampak sia-sia ini menggoreskan luka yang dalam. Mereka yang terpaksa mengungsi, meninggalkan kampung halaman dengan segenap luka yang mereka sandang. Mereka berharap dapat menemukan kehidupan yang damai dan masa depan yang cerah.

            Para Pengungsi merindukan bahwa kisah hidup mereka didengarkan dengan penuh perhatian. Dengan berkisah tentang kehidupan mereka, Pengungsi ingin menyampaikan pesan-pesan kemanusiaan yang mengundang kita untuk bertindak bagi terwujudnya perdamaian dan keadilan secara konkret dan sederhana. Pesan ini akan sampai bila kita bersedia menyambut para Pengungsi dengan keramahtamahan. Adolfo Nicolás SJ menggambarkan keramahtamahan sebagai pancaran nilai kemanusiaan yang mengakui hak seseorang, bukan karena ia adalah bagian dari keluarga, komunitas, ras, atau keyakinan kita, melainkan semata-mata karena ia adalah sesama manusia yang layak diterima dan dihormati.[1]

            Keramahtamahan ibarat menyambut seorang asing untuk tinggal di rumah  yang telah kita bangun untuk seseorang yang kita kasihi.[2]  Dalam keramahtamahan, Pengungsi yang menjadi tamu di negara kita disambut sebagai tamu dan sahabat yang dikasihi. Sambutan yang hangat tersebut membesarkan hati dan membangkitkan semangat hidup yang pernah memudar. Di sinilah, mereka yang terlunta-lunta akibat pengungsian menemukan suasana yang mendorong mereka untuk tumbuh kembali sebagai pribadi yang bermartabat. Keramahtamahan menyalakan rasa saling percaya dan saling hormat yang menuntun “pemilik rumah” dan “tamu yang disambutnya” pada pengenalan yang semakin dalam. Dalam suasana inilah, JRS yang mengalami saat-saat berahmat untuk menyambut Pengungsi, belajar menemukan apa saja yang dibutuhkan para Pengungsi untuk memulihkan martabat hidup mereka.

            Keramahtamahan terhadap orang asing seperti Pengungsi adalah wujud nyata sikap pemerdekaan diri (detachment) dari segala rasa lekat tak teratur (inordinate attachments) yang telah menghalangi seseorang untuk menjumpai orang lain dengan seluruh kekhasan pribadinya. Rasa lekat tak teratur itu dapat berupa kecurigaan, rasa tidak aman, stereotype terhadap orang lain, serta anggapan bahwa orang asing adalah “musuh” yang mengancam. Keramahtamahan menjadi jalan pengosongan diri bagi tumbuhnya perdamaian.

            Bagi banyak kebudayaan dan agama, keramahtamahan merupakan nilai dasar. Dalam Islam, Surah An Nisaa’ memerintahkan kaum muslim berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang asing, dan orang yang sedang melakukan perjalanan (ibnu sabil) [4:36].[3]  Salah satu tradisi Kristen menyatakan,”Jangan lupa memberikan tumpangan kepada orang asing, sebab dengan berbuat  demikian, beberapa orang tanpa diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat” [Surat kepada Orang Ibrani 13:2]. Bahkan, Tuhan sendiri dalam tradisi Kristen menyamakan diri-Nya dengan orang asing yang mengundang keramahtamahan kita: ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan [Matius 25:35]. Taittiriya Upanishad dalam Hindu menyatakan bahwa keramahtamahan ibarat menyambut tamu sebagai yang Ilahi. Dalam agama Yahudi, keramahtamahan (hakhnasat orchim) terhadap tamu atau orang asing merupakan kewajiban.[4]  Ada pula sebuah prinsip yang mendorong penganut Yahudi untuk menerima orang asing yang awalnya dianggap musuh, sebagai sahabat (Eizehu Gibur M’ha’giburim).[5]

            Dunia kita yang menderita sakit akibat perang, konflik, sentimen, kecurigaan, dan stereotyping yang melahirkan Pengungsi, membutuhkan keramahtamahan untuk menyembuhkannya. Semoga penemanan, pelayanan, dan pembelaan JRS bagi para Pengungsi secara langsung, konkret, dan sederhana, dapat menjadi tanda keramahtamahan yang menyembuhkan. Semoga cahaya keramahtamahan melelehkan kebekuan-kebekuan sosial dalam masyarakat yang menolak pengungsi, serta menembus ruang-ruang penting tempat kebijakan politik mengenai Pengungsi diputuskan.


 Indro Suprobo

Publikasi awal di JRS Indonesia

[1] Surat Pater Jenderal Adolfo Nicolás SJ kepada JRS tanggal 14 November 2010 pada peringatan ulang tahun JRS ke-30.
[2] JRS Working Paper, Welcoming the Stranger: Hospitality.
[3] Lih. juga (http://unhcr.or.id/images/pdf/publications/ haksuakasyariah.pdf
[4] JRS Working Paper, Welcoming the Stranger: Hospitality.
[5] Arik Ascherman,”Does Judaism Teach Universal Human Rights?”, dalam Kelly James Clark, Abraham’s Children, Liberty and Tolerance in an Age of Religious Conflict, Yale University Press, 2012, hlm.46-47.

No comments: