Tuesday, February 12, 2013

Saya Tak Ingin Dihukum Lagi Hanya Karena Rupa dan Agama Saya

Siang itu telepon genggam saya berdering. “Hallo Pak, sekarang ini situasi di Myanmar semakin buruk. Orang Rohingya semakin mengalami banyak kesulitan. Berita terakhir sangat buruk. Kapan kita bisa bertemu?”, demikian suara Mohammad Amir[i] cemas. Pengungsi etnis Rohingya berusia 27 tahun ini telah meninggalkan Myanmar selama hampir 8 tahun.

Kehidupan Muhammad Amir memang tidak pernah mudah namun bulan-bulan belakangan ini ia semakin prihatin dan sedih. Sejak peristiwa kekerasan yang terjadi di Myanmar bulan Juni lalu, Muhammad telah kehilangan kontak dengan keluarganya. “Saya tidak tahu apakah keluarga saya masih hidup saat ini. Yang jelas, satu kakak saya telah melarikan diri ke Bangladesh”, jelasnya. Kedutaan Besar Australia baru saja memberikan surat penolakan atas pengajuan suakanya. Ia merasa semakin cemas dan bingung sampai mengalami gangguan tidur atau insomnia.

PENOLAKAN di MYANMAR
Di Myanmar, sebagian besar orang Rohingya tidak dapat mengenyam pendidikan. “Orang Rohingya seperti saya punya banyak kesulitan untuk dapat menikmati sekolah. Saya hanya dapat bersekolah sampai kelas 4 SD. Itu pun dimulai ketika saya sudah berumur 10 tahun”, katanya. Ketika menginjak usia remaja, lelaki muda Rohingya pada umumnya akan berhadapan dengan lebih banyak kesulitan dan penganiayaan. “Waktu umur 15 tahun, saya dipaksa oleh pemerintah untuk bekerja sebagai tukang bangunan bagi kantor pemerintah tanpa bayaran”, kenangnya dengan wajah sedih. “Dalam seminggu, saya harus menjalani kerja paksa itu selama 4 hari, dari pagi sampai sore”, lanjutnya. “Waktu istirahat hanya setengah jam, dan apabila ketahuan bahwa saya sedikit beristirahat di sela-sela kerja karena lelah, atau karena kurang cepat dalam bekerja, saya akan mendapatkan pukulan demi pukulan.”

“Ketika badan sudah lelah bekerja paksa di siang hari, saya masih sering dipaksa oleh kepala kampung untuk berjaga malam di pos keamanan di wilayah perbatasan sampai pagi”, keluh Mohammad Amir. Menjaga wilayah perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh itu merupakan tanggung jawab petugas keamanan, tetapi mereka seringkali memaksa orang Rohingya untuk menggantikannya.  “Suatu malam, saya sangat lelah sehingga tertidur saat dipaksa berjaga malam. Ketika ketahuan, seluruh badan saya dipukuli dengan menggunakan kayu sampai bagian muka dan kepala saya berdarah-darah. Sakit sekali rasanya”, katanya sedih dan marah. “Saya tidak ingin dianiaya lagi. Maka saya memutuskan untuk pergi”.

“Saya tidak mungkin kembali ke Myanmar. Kalau kembali ke sana hanya ada dua pilihan bagi saya, dibunuh atau dipenjara seumur hidup”, tandasnya. Ia merasa beruntung berada di Indonesia meskipun harapan terbesarnya adalah mendapatkan negara ketiga yang mau menerimanya sebagai warga negara. “Saya sudah mengungsi ke beberapa negara seperti Bangladesh, India, China, Thailand dan Malaysia. Saya naik perahu, naik bus, atau berjalan kaki untuk melintasi negara-negara itu. Di semua negara itu, saya selalu merasa terancam meskipun dapat bekerja secara sembunyi-sembunyi, karena jika tertangkap oleh pihak keamanan, saya pasti dimasukkan ke dalam tahanan atau dibuang. Di Indonesia saya merasa lebih baik. Orang Indonesia itu baik hati, peduli kepada orang Rohingya, mau mengirim orang ke Myanmar, dan bahkan mau berbicara mendalam dari hati ke hati”, akunya.

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, orang Rohingya merupakan kelompok minoritas paling teraniaya di dunia. Ia merupakan bagian dari 12 juta orang yang tidak diakui kewarganegaraannya di negara manapun di dunia setelah Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 tidak mengakui orang Rohingya sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar. Tidak adanya pengakuan sebagai warga negara ini membuat orang-orang seperti Muhammad Amir ini tidak dapat memiliki paspor, tidak dapat bepergian atau bekerja secara resmi di negaranya sendiri maupun di negara lain, seolah-olah mereka ini tidak boleh hidup di dunia ini.
Dalam kecemasan, kebingungan dan keprihatinan yang menyelimutinya karena pengajuan suakanya ditolak oleh Kedutaan Australia, Mohammad Amir tetap berusaha membangun harapan baru. “Saya sudah menulis surat kepada UNHCR bahwa saya ingin hidup di New Zealand.” Tentu saja proses ini membutuhkan waktu entah berapa lama lagi. Sambil menunggu dalam ketidakpastian, ia berusaha menjagai satu-satunya harapan untuk hidup secara lebih bermartabat.“Saya sangat rindu untuk dapat hidup seperti orang-orang pada umumnya dan memiliki masa depan yang baik”. Agar waktu penantian ini menjadi lebih berguna dan tidak terasa lama, ia memanfaatkannya untuk belajar bahasa Inggris sebagai bekal bagi masa depannya. Semoga masa depan yang dinantikan itu akan memberinya kesempatan untuk hidup secara aman dan kesempatan untuk kembali membangun harapan dan impian.

Indro Suprobo

[i] Demi perlindungan, nama ini bukanlah nama sebenarnya.

Publikasi awal di JRS Indonesia

No comments: