Tuesday, December 18, 2012

Mempertanyakan Kebijakan Alih Fungsi Lahan

Oleh Indro Suprobo


Baru-baru ini, warga sebuah dusun di padukuhan Dayakan, desa Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, melayangkan surat protes dan penolakan terhadap rencana sebuah perusahaan pengembang perumahan yang bekerjasama dengan Perusahaan Daerah Air Minum untuk melakukan intervensi berupa penggalian jalanan dusun. Penggalian jalan dusun itu sedianya dimaksudkan untuk keperluan pemasangan jaringan pipa air minum khusus bagi bakal perumahan tersebut. Surat tersebut ditujukan kepada Pihak Perusahaan Perumahan dan Perusahaan Daerah Air Minum, dengan tembusan kepada Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Propinsi.

Protes dan penolakan itu muncul bukan semata-mata disebabkan oleh model intervensi proyek yang tidak melakukan komunikasi dan sosialisasi terlebih dahulu kepada warga dusun, melainkan terutama karena warga dusun sudah sampai pada batas kesabaran menanggung segala ketidakjelasan berkaitan dengan kebijakan alih fungsi lahan yang digunakan untuk pengembangan perumahan tersebut. Pantas disampaikan di sini bahwa lahan seluas kurang lebih delapan hektar yang dialihfungsikan untuk pengembangan perumahan tersebut, pada mulanya merupakan lahan pertanian yang sangat subur dan produktif, serta menjadi lahan resapan air di wilayah itu. Kurang lebih separoh dari lahan itu juga merupakan lahan berstatus tanah kas desa.

Membunuh Penghidupan
Sebelum dialihfungsikan, lahan tersebut menjadi lahan penghidupan bagi banyak orang yang tinggal di sekitarnya. Kesuburan yang terhampar dan kelimpahan air yang mengalir menjadi anugerah dan surga bagi warga yang dapat menanam padi, sayuran dan palawija. Mereka yang bisa nunut tandur dan panen di tanah kas desa itu jumlahnya tidak sedikit. Tak mengherankan jika lahan ini boleh disebut sebagai penyambung hidup.

Ketika tiba-tiba terpasang papan larangan untuk mengolah lahan tersebut, warga dusun merasa tersentak dan kecewa. Apalagi ketika tahu bahwa lahan tersebut akan dialihfungsikan untuk pengembangan perumahan. “Wah proyek punika mejahi tedhinipun tiyang kathah (Wah proyek ini membunuh penghidupan banyak orang),” kata salah seorang warga lanjut usia yang kecewa, yang sehari-harinya ikut numpang menanam di lahan tersebut.

Kehadiran buldoser dan mesin besar lainnya, terasa sangat menyayat hati dan seolah-olah menggilas kehidupan masyarakat petani dan buruh tani di bawah roda-roda kekuasaan dan kepentingan segelintir orang. Deru mesin yang menghalau ketenangan desa, terasa membungkam seluruh jeritan hingga tak lagi keluar suara, kecuali kesedihan mendalam yang tersisa.

Tidak Transparan
Lebih mengecewakan lagi, informasi tentang alih fungsi lahan ini tampaknya tidak transparan. Pemerintah Desa tidak pernah memberikan penjelasan dan pertanggungjawaban yang memadai kepada warga dusun perihal alih fungsi lahan itu. Apakah tanah kas desa yang dijual dan dialihfungsikan itu telah dicarikan gantinya? Di manakah letak lahan pengganti itu? Berapa total harga jual lahan tersebut? Seandainya terdapat lahan pengganti, berapakah harga beli lahan pengganti tersebut? Bagaimanakah posisi keuangan terakhir dari hasil jual beli lahan tersebut? Seandainya terdapat saldo, dimasukkan dalam pos yang mana dan digunakan untuk apa?

Lebih serius lagi adalah pertanyaan-pertanyaan warga yang masih menggantung sampai saat ini berkaitan dengan kebijakan alih fungsi lahan tersebut. Sangat dimaklumi bahwa proses alih fungsi lahan itu pasti melibatkan banyak pihak dan instansi yang berkaitan dengan analisis kelayanan dan proses perijinan.

Manakah alasan-alasan yang fundamental dan krusial sehingga lahan subur yang sangat produktif dan berfungsi sebagai resapan air itu seolah-olah secara sangat ringan dapat  dialihfungsikan? Bagaimanakah landasan argumentatif dari kebijakan tersebut? Manakah pertimbangan-pertimbangan rasionalnya sehingga Pemerintah Daerah dapat mengeluarkan ijin yang sebenarnya tidak sesuai dengan rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah yang dibuatnya sendiri?

Bahkan, seandainya Pemerintah Daerah memiliki alasan bahwa kebijakan soal alih fungsi lahan itu dilandaskan pada perubahan rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah sebagai akibat dari erupsi Merapi, alasan itu tidak sahih dan tidak memiliki daya bukti karena mereka yang akan menjadi penghuni perumahan itu bukanlah masyarakat korban erupsi Merapi, melainkan mereka yang berkantong tebal, mengingat perumahan yang dibangun ini merupakan perumahan megah dan mewah. Kemegahan dan kemewahan itu tercermin sangat nyata pada patung-patung besar dan gagah yang dibangun di pintu gerbang muka.

Lebih lagi, jika dikaitkan dengan hasil pengkajian dan pemetaan tentang ancaman dan kerentanan terhadap risiko bencana, seandainya telah tersedia, kebijakan tersebut justru dapat meningkatkan tingkat kerentanan terhadap risiko bencana di mana masyarakat sekitar lahan tersebut mengalami defisit kapasitas dalam hal penyediaan dan ketahanan pangan.

Pertanggungjawaban kebijakan alih fungsi lahan tersebut, baik di tingkat Pemerintah Desa, Kecamatan maupun Kabupaten, masih merupakan wilayah gelap sampai saat ini. Tentu saja, kondisi tidak transparan dan gelap ini sangat mudah mengundang kecurigaan akan adanya peluang-peluang manipulasi dan korupsi. Kecurigaan tersebut sangatlah wajar, beralasan, dan pantas mendapatkan perhatian serius. Kecurigaan yang muncul di dalam pikiran banyak warga masyarakat ini, sepatutnya ditanggapi.  Karena menyangkut kebijakan alih fungsi lahan atas tanah kas desa, sudah sepatutnya pula protes dan penolakan masyarakat ini menjadi keprihatinan Pemerintah Propinsi.

Mencederai Demokrasi
Kebijakan alih fungsi lahan yang diungkap dalam tulisan ini tentu saja hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus lain yang barangkali tidak sempat mengemuka di media publik. Namun satu contoh yang konkret ini dapat menjadi petunjuk yang gamblang bahwa praktik kebijakan alih fungsi lahan itu cenderung tidak berlandaskan pada prinsip mengutamakan kepentingan masyarakat lebih luas, melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat lebih luas, dan mendorong partisipasi masyarakat. Tiadanya transparansi dan pertanggungjawaban, pada dirinya sendiri sudah merupakan petunjuk sangat jelas tentang perilaku tata kelola pemerintahan yang tidak baik dan mencederai demokrasi.

Pembiaran terhadap praktik-praktik yang tidak transparan dan tidak akuntabel merupakan pelecehan terhadap kedaulatan rakyat. Di dalam pembiaran tersebut seolah-olah tersimpan cara berpikir bahwa masyarakat adalah warga yang tidak tahu menahu tentang segala sesuatu dan hanya dapat bersikap setuju kepada segala titah aparat Pemerintah.

Dimulai dari Tingkat Desa
Protes dan penolakan warga dusun ini, sudah sepantasnya menjadi peringatan keras untuk sekian kalinya bahwa Pemerintah Daerah sudah semestinya mengevaluasi kebijakan alih fungsi lahan secara serius. Pengambilan keputusan tentang alih fungsi lahan, apalagi bila menyangkut lahan subur dan produktif yang sangat potensial untuk mendukung ketahanan pangan, lebih-lebih apabila lahan itu merupakan tanah kas desa, sangat mutlak diperlukan adanya partisipasi warga. Secara konkret hal ini harus dimulai dari tingkat Pemerintah Desa.

Forum-forum rembug warga di tingkat dusun dan di tingkat kring atau padukuhan, merupakan forum-forum penting yang menjadi media utama bagi pengembangan partisipasi warga. Segala bentuk rencana dan pertanggungjawaban sudah semestinya digulirkan dan dibahas di dalamnya. Karena rembug warga yang masih terpelihara di dusun-dusun dan di padukuhan tersebut merupakan praktik paling dekat dengan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang menghargai dan menjunjung tinggi praktik kedaulatan rakyat, adalah satu-satunya pemerintahan yang paling pantas disebut sebagai bermartabat.***

No comments: