Monday, November 27, 2006

Religiositas untuk Anak, Bukan Agama (1)

Indro Suprobo Barangkali kami merupakan salah satu saja dari sekian banyak orang yang percaya dan mempraktekkan bahwa agama bukanlah satu-satunya melainkan hanya salah satu dari religiositas. Dalam kerangka itu kami menemani anak kami yang baru berusia 4 th untuk tidak terikat kepada salah satu agama. Sampai sekarang, agama anak kami boleh dikatakan tidak jelas. Repotnya, dalam masyarakat yang sangat membutuhkan kejelasan agama ini, kami sering harus berpikir sekian kali ketika ditanya orang tentang agama anak. Ketika periksa di sebuah Rumah Sakit, petugasnya bertanya, “Agama anak anda apa pak?” Saya menjawab, “Agamanya bermain”. Perawatnya bingung. lalu saya tegaskan bahwa dia tidak/belum beragama. "Tapi kolom ini harus diisi pak" katanya. “Ya sudah diisi saja Islam, yang banyak jumlahnya”, begitu jawab saya. Dengan begitu, urusan pengisian formulir agama di rumah sakit lalu selesai. Demikian juga ketika harus membuat kartu keluarga di kelurahan. dengan penuh percaya diri, petugas kelurahan mengisi seluruh data agama dengan "Islam" karena melihat istri saya mengenakan jilbab. Semua itu tidak kami persoalkan dan urusan selesai dengan sangat sederhana. Tetapi dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan di sekolah, anak kami memang tidak beragama. Kami sengaja mencari sekolah (play group dan TK) yang tidak ada pelajaran agamanya. Namun kami percaya bahwa tentu saja lingkungan dekat sehari-hari akan membentuk nilai-nilai religiositas bagi anak. Lalu teknik pengenalannya bagaimana? Pertama-tama ini berkaitan dengan sikap dasar kita sendiri sebagai orang tua. Saya dan istri yang kebetulan berbeda latar belakang kebiasaan agama, sepakat untuk tidak mendidik anak dalam koridor agama tertentu, melainkan dalam nilai-nilai religius (dari beragam agama dan prinsip-prinsip nilai hidup). Memang orangtua kami sendiri sering meminta memperjelas agama anak saya dengan agama tertentu. Belumlah menjadi kewajaran bagi mereka apabila seorang anak belum memiliki kejelasan dalam beragama. Namun kami berpendapat bahwa "yang paling jelas, agama anak kami sekarang ini adalah bermain dan bergembira", tidak perlu dimasukkan dalam kotak agama lebih dahulu. Nanti pada saatnya dia akan punya pilihan sendiri. Apapun pilihannya nanti, kami akan mendukungnya. Secara praktis, kepadanya kami memperkenalkan kebiasaan katolik pada saat mengikuti perayaan natal di gereja desa (istri saya yang muslim ikut serta ke gereja) dan pada saat lebaran kami memperkenalkan kebiasaan Islam dengan mengikuti sholat id di masjid pesantren milik keluarga, pada hari peringatan turunnya Krishna, kami memperkenalkannya dengan kebiasaan Hare Kreshna di sebuah asram yang rutin mengundang kami setiap tahun, dan pada kesempatan tertentu kami meperkenalkan dia dengan kebiasaan buddis di vihara dekat selokan mataram jogja. Di rumah, kami sering memutar kidung-kidung religius berbagai agama sambil bermain kendang, kelintingan, gitar dsb. Dan semuanya itu "menggembirakan hati"nya, dan dengan demikian menggembirakan hati kami juga. Yang paling prinsipial dari semua itu adalah menemani anak untuk belajar bersyukur, berharap, bergembira, sabar dalam sulit, hormat pada teman dan orang lain, tidak terbiasa berbohong dsb. Soal berdoa, kami biarkan dia sedang merasa senang dengan cara apa, tetapi yang paling sering adalah mengucap dalam bahasa indonesia sederhana dalam dunia anak-anak. Misalnya, Tuhan terima kasih sudah mendapatkan makanan, semoga sehat. amin. Nah cukuplah itu buat kami. Mau ditambah tanda salib silakan, mau diramu dengan bacaan bismillahirohmannirohim juga boleh. Itu semua hanyalah cara, atau fitur dalam dunia handphone. Kami sengaja tidak memperkenalkan konsep-konsep abstrak terlebih dulu kepadanya. Yang kami kenalkan adalah yang "manusiawi' dulu. Akibatnya, kadang-kadang dia memanggil saya dengan sebutan "Tuhan" tetapi memanggil ibunya dengan sebutan "Allah" (dieja dalam cara bahasa Arab). Saya dan istri tertawa sambil berterima kasih kepadanya. Cukup dengan tertawa karena dia memang sedang bermain-main dan menertawakan "yang serius" dalam agama-agama. Begitulah dunia anak kami. Dia tetaplah anak-anak dan bukan orang dewasa berukuran mini. Untuk menghindari konsep "Tuhan Yesus" yang belum cocok buat anak-anak (menurut kami), kami menggambar sambil mendongeng tentang Yesus sebagai anak tukang kayu yang suka membantu ayahnya membuat meja, kursi, cowek, munthu, gagang pacul dan mobil-mobilan buat anak-anak. Lalu kami mengatakan kepada anak kami,"Yesus adalah orang yang baik dan suka membantu anak-anak membuat mobil-mobilan". Dengan demikian, ia mengenal Yesus sebagai manusia yang baik hati yang pantas diteladani, dihormati dan dijunjung dalam puja dan puji. Dalam cara yang sama, kami perkenalkan dia dengan beragam tokoh lain dari kearifan kehidupan. Barangkali ini merupakan salah satu praksis berteologi dari bawah bersama anak-anak. Diolah kembali dari diskusi panjang dalam sebuah milis

No comments: