Monday, November 27, 2006
Menerima Pluralitas dan Membangun Moralitas Berkeadilan
Indro Suprobo
Dengan segala kerendahan hati dan ketulusan yang serba jujur berjiwa besar, pantaslah diakui bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkenyataan plural, kaya kepelbagaian, berornamen perbedaan, dan memiliki banyak ekspresi hidup. Masyarakat Indonesia senyatanya bukanlah masyarakat yang satu dan sama. Kenyataan ini adalah bagian dari wujud kemanusiaan yang wajar sebagai konsekuensi logis dari anugerah keunikan karya penciptaan Sang Ilahi. Konteks ruang dan waktu yang menjadi ladang subur bagi pertumbuhan kehidupannya dalam membangun jati diri kemanusiaannya, bukan pula sebuah kenyataan yang satu dan sama melainkan sejak semula berwujud keragaman. Oleh karenanya, keanekaan atau pluralitas yang menjadi kenyataan hidupnya adalah hal yang tidak dapat disangkal.
Kepelbagaian dalam kehidupan yang meliputi kesukuan, kedaerahan, ekspresi bahasa, cara berpikir dan berasa, model hidup bersama, cara memahami dan menghayati Sang Ilahi serta gaya mengekspresikan religiositas adalah kenyataan sekaligus kekayaan hidup masyarakat Indonesia. Kepelbagaian semacam ini dalam kehidupan bersama tidak akan menimbulkan permasalahan sejauh dikelola secara wajar dan senantiasa mencerminkan prinsip keadilan bagi setiap keunikan. Kepelbagaian dan perbedaan mulai menimbulkan permasalahan dalam hidup bersama ketika pengelolaannya melahirkan situasi ketidakadilan bagi sebagian keunikan. Pengelolaan hidup bersama akan melahirkan ketidakadilan ketika motivasi dasar dan tujuannya berujung pada kepentingan terbatas dan mulai menganggap sepi kebutuhan essensial salah satu atau sebagian keunikan dalam masyarakat.
Sejarah hidup bersama masyarakat Indonesia telah menunjukkan bahwa berbagai pergolakan dan peristiwa yang melukai harkat dan martabat kemanusiaan selama ini timbul ketika kepentingan terbatas dan tidak adil memasuki wilayah motivasi dan tujuan tindakan sebagian masyarakat yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan bersama. Wilayah motivasi dan tujuan tindakan adalah wilayah moralitas. Kalau demikian, mengelola kepelbagaian menuntut sikap moral tertentu yakni moralitas berkeadilan.
Dalam konteks pengelolaan pluralitas, moralitas berkeadilan dipahami sebagai sikap dasar individu dalam menghadapi pluralitas yang tercermin baik dalam pikirannya, perkataannya maupun dalam tindakannya. Moralitas berkeadilan ini juga berarti menerima kenyataan pluralitas dalam kehidupan, memberi ruang bagi pertumbuhan masing-masing keunikan yang ada, menerima yang berbeda sebagai sesama yang pantas dihormati dan dihargai secara jujur, serta menumbuhkan kesanggupan bagi masing-masing keunikan untuk membangun jati dirinya tanpa diskriminasi. Masyarakat yang membangun hidupnya berdasarkan moralitas berkeadilan adalah masyarakat yang tidak menempatkan dirinya sebagai superior terhadap yang lain melainkan setara serba sejajar dan seharkat-semartabat.
Lebih jauh, moralitas berkeadilan semacam ini dapat dibangun dengan cara memahami setiap nalar dari setiap keunikan yang ada dalam masyarakat. Untuk memahami nalar yang bekerja dalam setiap keunikan ini, dibutuhkan sikap lebih lanjut yakni, sikap lintas nalar. Itu berarti berusaha keluar dari nalar keunikannya sendiri dan memasuki nalar keunikan yang lain dan berbeda. Pada umumnya orang menyebut sikap ini sebagai sikap passing over, melintas batas.
Peristiwa yang menggores kemanusiaan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia berkaitan dengan pluralitas beberapa waktu lalu adalah konflik sangat destruktif antar suku dan agama yang menimbulkan korban jiwa tak terhitung banyaknya. Korban jiwa sedemikian banyaknya ini adalah akibat dari tidak adanya moralitas berkeadilan yang telah hidup dalam diri anggota masyarakat yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pengelolaan kehidupan bersama yang plural. Kepentingan-kepentingan terbatas yang sonder keadilan telah bekerja dalam nalar individu-individu yang menjalankan peranan strategis di tengah masyarakat baik itu sebagai penentu kebijakan, para pendidik baik formal maupun informal, tokoh masyarakat dan sebagainya. Nalar berkepentingan terbatas sonder keadilan ini telah bekerja secara sistematik dalam kesadaran masyarakat dalam waktu yang sedemikian panjang. Akibatnya nalar ini seakan-akan menjadi hal yang sah dan wajar untuk hadir dalam kehidupan bersama. Pada gilirannya, masyarakat yang senyatanya adalah plural dan terdiri dari beragam keunikan lalu menjadi tidak terbiasa atau tidak memiliki kesanggupan untuk bersikap lintas nalar, lintas keunikan.
Persoalan yang nyata dan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang plural ini membutuhkan siasat yang relatif jitu untuk mengatasinya. Salah satunya adalah menguatkan pendidikan masyarakat untuk menerima pluralitas dan mengelolanya secara lebih dewasa dan adil. Untuk itu, mendesaklah usaha untuk membuka konteks-konteks historis berkaitan dengan konflik yang terjadi dalam masyarakat kita terutama konflik antar suku dan agama. Perlu pula dibuka kearifan-kearifan yang sebenarnya secara potensial telah dimiliki oleh masyarakat sendiri dalam mengelola pluralitas ini namun telah dipolitisir oleh mereka yang memiliki kepentingan terbatas dan tidak adil. Sharing pengalaman dari mereka yang telah secara jujur dan ikhlas berjerih payah membangun pergaulan inklusive dalam konteks pluralitas ini juga pantas diungkapkan sebagai contoh alternatif mengelola kehidupan yang beragam dan penuh perbedaan. Kejujuran dan ketulusan untuk bertatap muka, kehendak baik untuk duduk bersama merumuskan persoalan-persoalan ketidakadilan yang menimpa hidup bersama serta menemukan simpul-simpul kerja bersama dalam menegakkan keadilan merupakan kebutuhan mendesak yang tak bisa lagi ditolak. Pada saat yang sama, teramat pentinglah kemandirian dan sikap kritis terhadap segala yang bisa (menganggap diri) menjadi otoritas, karena dari sanalah segala kemungkinan manipulasi, indoktrinasi dan konstruksi nalar tak berkeadilan dapat mengalir secara pasti meskipun perlahan.
Sumber: www.usc-satunama.org, Jumat 9 September 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment