Friday, July 01, 2016

Suatu Senja di Cleveland

Oleh Indro Suprobo


Bagi orang kampung yang sehari-harinya terbiasa berkain sarung seperti saya, mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke kota Cleveland di Negara bagian Ohio, Amerika Serikat, merupakan pengalaman yang langka. Ini terjadi karena sahabat saya, seorang Kyai muda pengasuh sebuah Pondok Pesantren mahasiswa di Surakarta mendapatkan dua undangan gratis untuk menghadiri workshop di sana. Satu undangan gratis itu ditawarkan kepada saya karena kebetulan tema workshop itu, Appreciative Inquiry, pernah menjadi bahan diskusi panjang kami berdua.
Workshop itu diselenggarakan oleh Weatherhead School of Management, Case Western Reserve University, sebuah universitas swasta yang memiliki keunggulan di bidang manajemen pengembangan organisasi. Kebetulan yang menjadi fasilitator utamanya adalah Profesor David L. Cooperrider, sang penemu dan pemikir kreatif metode pengembangan organisasi berbasis pikiran positif dan keunggulan nyata, sekaligus penulis buku Appreciative Inquiry: A Positive Revolution in Change.
“Appreciative Inquiry adalah sebuah pendekatan konstruksionis untuk merancang dan mengelola perubahan di masa depan berdasarkan kekuatan positif dan pengalaman terbaik di masa lalu yang telah dicapai oleh individu maupun kelompok,” kata Profesor Cooperrider dalam sessi workshop dengan penuh keyakinan dan persuasi.
“Dalam pendekatan ini, setiap individu mendapatkan ruang luas untuk mengeksplorasi pengalaman terbaiknya pada masa lalu dan menemukan kekuatan positif yang mempengaruhinya. Berdasarkan pengalaman terbaik dan kekuatan positif itu, individu diberi kesempatan untuk membangun mimpi dan imajinasi yang positf di masa depan serta merancang segala kemungkinan terbaik masa depan yang dapat dicapai dalam kehidupannya. Itulah perubahan positif yang mungkin dan dapat dikerjakan sejak sekarang,” lanjut Cooperrider. “Oleh karena itu, dalam pendekatan ini, penggunaan pertanyaan-pertanyaan yang positif untuk menuntun proses identifikasi pengalaman terbaik dan kekuatan positif masa lalu, menjadi sangat vital dan penting,” paparnya.
Dengan keingintahuan yang besar, sahabat saya yang Kyai Pondok Pesantren itu memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan,”Profesor, mengapa pertanyaan positif menjadi sangat vital dan penting? Apakah dengan demikian metode ini tidak mengakui kekurangan dan defisit dalam pengalaman masa lalu?”
“Pertanyaan Anda bagus sekali pak Kyai,” jawab sang Profesor apresiatif.
“Metode ini menghargai pertanyaan positif sebagai hal sangat penting karena meyakini prinsip simultansi dalam psikologi tentang perilaku. Pertanyaan positif yang diajukan sejak awal identifikasi tentang pengalaman terbaik dan kekuatan positif yang dialami seseorang, akan mengarahkan seluruh energi positif di dalam dirinya untuk berorientasi kepada perilaku yang positif di masa depan. Dengan demikian, sejak pertanyaan positif itu diajukan, ia sudah mengarahkan perubahan positif di masa depan. Itulah prinsip simultansi,” kata sang Profesor memberikan penjelasan.
“Dalam metode ini, pengalaman negatif tidak diabaikan. Pengalaman negatif dan kekurangan tetap diakui ada dalam kenyataan, namun hal itu tidak dijadikan sebagai fokus dalam metode ini, karena dari banyak pengalaman, identifikasi pengalaman negatif dan kekurangan cenderung melahirkan keputusasaan dan depresi serta menurunkan tingkat kreativitas. Sebaliknya, pertanyaan positif dan pengakuan atas pengalaman terbaik cenderung membangkitkan antusiasme dan kreativitas, serta keberanian untuk menciptakan kemungkinan di masa depan,” lanjut Profesor penuh keyakinan.
Workshop yang berlangsung tiga hari itu terasa sangat menyegarkan dan membangkitkan semangat para pesertanya. Tanya jawab, dialog dan proses berbagi pengalaman positif antar pribadi terasa memberikan nutrisi bagi setiap orang yang merasakan aura positif dan apresiatif dalam forum itu. Ruangan yang nyaman di kompleks Universitas itu juga membuat semua orang merasa betah.
Sore itu, setelah selesai workshop hari kedua, sambil berkain sarung dan berkaos oblong, saya berkesempatan menikmati obrolan pribadi bersama Profesor Cooperrider di bangku taman di halaman belakang penginapan. Penginapan kami terletak di dekat kampus universitas di pinggiran kota Cleveland. Tak jauh dari penginapan kami, ada Severance Hall, sebuah gedung orkestra yang terkemuka di Cleveland. Taman di belakang penginapan kami cukup luas dengan beraneka ragam tanaman dan hamparan rumput, serta jalan setapak. Ada kolam kecil dengan air mancur.
“Profesor, saya membaca bahwa selama dua puluh tahun belakangan ini, banyak lembaga, organisasi dan komunitas telah memberikan kesaksian bahwa mereka mengalami perubahan positif yang luar biasa setelah menerapkan metode Appreciative Inquiry ini,” celetuk saya memulai pembicaraan.
“Ya, Anda benar sekali. Hal itu telah mendorong kolega saya, Diana Whitney dan Amanda Trosten-Bloom melakukan penyelidikan tentang apa yang membuat pendekatan ini berhasil di berbagai tempat. Mereka menemukan enam faktor kunci yang mereka sebut sebagai enam kebebasan, yakni kebebasan untuk dikenali dan diakui di dalam relasi antar pribadi, kebebasan untuk didengarkan, kebebasan untuk membangun mimpi di dalam komunitas, kebebasan untuk memilih cara berkontribusi, kebebasan untuk bertindak dalam dukungan, dan kebebasan untuk bersikap positif ” jawab pak Profesor penuh keceriaan.
“Ya benar. Saya telah membaca hasil penelitian itu. Tetapi yang menarik bagi saya adalah bahwa sebelum Anda mencetuskan pendekatan Appreciative Inquiry ini pada tahun 1980an, saya dan semua siswa yang lain telah mengalami praksis enam kebebasan itu di sekolah kami, Seminari Menengah Mertoyudan. Praksis itu saya pikir sudah dimulai sejak lama sekali dan sudah mendarah daging dalam seluruh metode pendidikan Seminari Mertoyudan bahkan sudah melewati usia 100 tahun,” jawab saya penuh percaya diri.
“Oh ya? Wah menarik sekali sekolah Anda itu? Apakah anda bisa menceritakannya kepada saya?” kata pak Profesor penasaran. Wajahnya tampak cerah dan matanya berbinar ketika mendengar pernyataan saya.
“Ya, enam kebebasan yang dirumuskan oleh Diana Whitney itu telah benar-benar kami alami selama menjalani pendidikan di Seminari Mertoyudan,” dengan penuh semangat saya menjelaskan.
“Wah saya tertarik untuk mendengarkan bagaimana hal-hal itu secara konkret Anda alami. Bagaimana sekolah Anda memfasilitasi keenam kebebasan positif itu?” lanjut Profesor semakin penasaran.
“Berkaitan dengan kebebasan untuk dikenali, sekolah kami memfasilitasi beberapa model membangun relasi antar pribadi, antara lain dengan membentuk kelompok basis dan mekanisme menuliskan sumbangan rohani untuk teman-teman terdekat. Kelompok basis menjadi ruang bagi setiap individu untuk saling mengenali secara mendalam, untuk berbagi pengalaman personal bahkan untuk saling berkonsultasi dalam sikap saling percaya. Menulis sumbangan rohani menjadi cara untuk saling memberikan apresiasi, menunjukkan kekuatan dan kelebihan, serta memberikan rekomendasi tentang perubahan yang mungkin dilakukan di masa depan oleh masing-masing pribadi. Ada pula catatan tentang hal-hal yang sebaiknya diperhatikan secara serius oleh pribadi-pribadi. Semua itu disampaikan dalam sikap hormat dan doa agar apa yang dituliskan itu benar-benar menjadi rahmat bagi orang lain. Semua ini memberikan kebebasan kepada individu untuk dikenali sebagai pribadi yang menjadi dirinya sendiri. Setiap orang diberi kebebasan untuk menenun identitas dan keunikannya,” jelas saya.
“Wah, Anda sangat beruntung mendapatkan pengalaman semacam itu,” kata Profesor.
“Kelompok basis itu juga menyediakan kebebasan untuk didengarkan. Selain itu, para guru yang menemani proses belajar di dalam kelas juga menyediakan ruang bagi kami untuk didengarkan. Apalagi dalam proses belajar sastra. Setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca satu buah karya sastra yang bermutu lalu diberi kesempatan untuk menyampaikan seluruh gagasan, komentar maupun analisis pribadinya tentang karya yang telah dibacanya. Semua siswa yang lain juga diberi ruang luas untuk mengajukan tanggapan dan pandangan tentang karya itu maupun tentang pandangan teman lain. Proses belajar semacam itu sungguh-sungguh membuat kami merasa berarti karena diberi ruang untuk didengarkan. Setiap orang belajar untuk mendengarkan secara jujur dan berempati,” lanjut saya.
“Saya perlu mengatakan secara jujur bahwa proses belajar semacam itu sangat apresiatif dan memberikan dampak positif yang luar biasa. Merasa berharga karena didengarkan itu sangat luar biasa. Para guru yang menemani proses itu pasti sangat profesional dan benar-benar memenuhi kriteria sebagai pendidik,” kata Profesor menanggapi.
“Benar sekali Profesor. Sampai saat ini kami merasakan bahwa para guru itu adalah sahabat-sahabat kami. Dengan penuh komitmen, mereka telah menemani dalam proses belajar. Mereka benar-benar menjadi teman dan sahabat untuk belajar. Kami juga mendapatkan kebebasan untuk membangun mimpi dan memilih cara berkontribusi dengan diberi banyak pilihan untuk mengembangkan keterampilan. Ada kesempatan untuk belajar menulis, mempelajari beragam alat musik, mempelajari keterampilan pertukangan, mempelajari seni dekorasi dan podium, ada sidang akademi di mana setiap orang diberi kesempatan belajar mempresentasikan karya ilmiah atau keterampilan debat, serta kesempatan belajar bertanggung jawab dalam tugas-tugas tertentu. Kesempatan ini membuat kami merasa diberi kebebasan untuk membangun mimpi, yakni mau menjadi pribadi seperti apa pada masa depan dan bagaimana berkontribusi bagi orang lain sesuai dengan keunikan dan kemampun terbaik yang kami miliki.”
“Dari pengamatan dan pengalaman Anda, apakah salah satu dari kesempatan belajar itu benar-benar memberikan daya hidup bagi Anda dan teman-teman Anda pada masa kemudian?” tanya Profesor menyelidik.
“Ya, masing-masing memetik buah yang memberdayakan hidup pribadi di masa depan. Ada yang membangun mimpi menjadi pribadi yang menikmati dunia tulis-menulis dan berkontribusi melalui tulisan. Ada yang menghidupkan mimpi dan berkontribusi dalam hidup melalui dunia musik. Ada pula yang membangun ketekunan dalam keterampilan-keterampilan tertentu. Kebebasan untuk memilih cara berkontribusi itu ternyata membangkitkan daya yang malahirkan komitmen dan kemauan untuk belajar, kreativitas, serta ketekunan. Ini melahirkan pribadi-pribadi yang positif dan produktif. Banyak dari antar kami, yang karena terdorong untuk berkomitmen dan terus-menerus belajar, akhirnya benar-benar memiliki keunggulan dan kualitas yang teruji dalam pilihan mereka, sehingga semakin dipercaya untuk mengemban tanggung jawab yang semakin besar di komunitas, di universitas, di tempat kerja, di lingkungan tempat tinggal dan sebagainya,” jawab saya mantab.
“Wah bagus sekali. Sungguh, itu pengalaman bagus. Begitulah prinsip-prinsip Appreciative Inquiry mempengaruhi pertumbuhan pribadi seseorang dan komunitas,” kata Profesor Cooperrider sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Kami terdiam sejenak. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala di sana-sini. Suasana semakin terasa hening. Ada daun kering jatuh di atas kain sarung saya. Warnanya kekuningan dan berlobang kecil-kecil. Mungkin bekas dimakan ulat.
“Bagaimana kebebasan untuk bertindak dalam dukungan dan untuk bersikap positif diberi ruang oleh lingkungan sekolah Anda?” tanya Profesor melanjutkan obrolan.
“Ada banyak media sebenarnya. Beberapa yang saya ingat adalah kegiatan-kegiatan khusus yang diselengarakan secara rutin sebagai media mewujudkan ekspresi dan kreativitas pribadi. Misalnya beragam perlombaan dalam Malam Kreativitas. Ada lomba untuk menulis drama, menulis cerpen, membaca puisi, bermain teater, menulis artikel sastra dan sebagainya. Semua itu memberi ruang bagi individu untuk mengeksplorasikan kreativitas dan belajar berkarya dalam dukungan seluruh sistem. Ini benar-benar memberikan ruang kebebasan untuk bertindak dalam dukungan. Individu sungguh-sungguh diberi ruang belajar untuk melakukan tindakan produktif dan mendapatkan apresiasi. Namun demikian ada pula model yang bersifat spiritual yang disebut Bimbingan Rohani. Setiap individu diberi ruang belajar untuk menimbang dan mengambil pilihan atas situasi dan pengalaman hidupnya,” jawab saya.
“Dari pengalaman bertemu dengan banyak orang yang mampu menggali pengalaman terbaik masa lalu dan masa kini, saya menemukan bahwa orang-orang semacam ini cenderung memiliki kapasitas untuk menularkan hal positif kepada orang lain, menumbuhkan semangat, antusiasme, rasa gembira dan kreativitas. Bahkan ketika menghadapi masa sulit dan kesulitan, mereka cenderung memiliki ketenangan untuk tetap memilih yang positif bagi dirinya,” jelas pak Profesor.
“Nah, ada satu hal lagi yang tidak disebut oleh Diana Whitney namun difasilitasi oleh Seminari Mertoyudan, dan itu menjadi wadah serta landasan kokoh bagi semua kebebasan yang disebutkan itu,” tegas saya.
“Wah, apalagi itu?” tanya pak Profesor penasaran.
“Yang satu ini tertanan dan terinternalisasi sangat mendalam dalam hidup kami dan tak mudah hilang, yaitu kebiasaan untuk menjaga “silentium”. Ini merupakan praktik membangun keheningan batin setiap saat agar di dalam batin individu senantiasa tersedia ruang luas bagi kehadiran Yang Mahapositif dan Yang Mahaapresiatif. Ini semacam latihan sederhana namun berdaya bagi individu untuk senantiasa hening, membangun koneksi dengan Yang Mahapositif dan Mahaapresiatif itu. Secara sederhana, ini boleh disebut sebagai proses untuk selalu melakukan Inquiry, penelusuran atas kehadiran Yang Mahapositif dan Mahaapresiatif dalam setiap pengalaman hidup. Inilah pengalaman paling positif yang kami alami selama menjalani pendidikan di Seminari Mertoyudan. Keheningan yang dibangun setiap saat itu, mendorong energi spiritual yang positif dan mendasar, yakni energi syukur atas segala anugerah. Semakin mampu bersyukur, semakin besar pula energi positif untuk kreatif, produktif, dan membaca kemungkinan terbaik dalam segala situasi hidup. Itu semua membuat individu terus-menerus bertumbuh,” jawab saya penuh keyakinan.
“Wah, saya pikir itu kebiasaan yang sangat dibutuhkan. Semua pikiran positif dan energi positif yang menuntun perilaku individu sangat membutuhkan landasan keheningan. Hanya dalam keheningan, individu sanggup mengeksplorasi pengalaman positif yang paling dalam dan memilih tindakan-tindakan positif yang membawa kemungkinan besar bagi perubahan dan pertumbuhan,” kata Profesor.
“Wah terima kasih profesor, saya sangat beruntung Anda sudah berkenan ngobrol. Semoga suatu saat Profesor berkesempatan mengunjungi sekolah saya dan bertemu langsung dengan suasana aselinya. Pasti akan sangat menarik,” jawab saya.
“Iya, semoga saya berkesempatan untuk mengunjunginya dan berbagi pengalaman dengan semua yang terlibat di dalamnya. Itu pasti akan memberikan energi positif juga bagi saya,” kata Profesor.
Kami lalu saling berpamitan dan kembali ke kamar masing-masing untuk melanjutkan aktivitas. Setelah menulis sebentar di kamar, saya langsung berangkat tidur supaya esok hari tetap segar mengikuti workshop hari terakhir.
Esok hari ketika bangun, saya terkejut. Di luar jendela terdengar keramaian orang berkelakar dalam bahasa Jawa. Aneh, sejak kemarin tak satupun orang Jawa saya temui di sekitar penginapan, kecuali pak Kyai sahabat saya. Ketika membuka jendela, saya baru sadar. Saya melihat simbok-simbok petani sedang bergerombol menanam padi di persawahan samping rumah. Oh, ternyata saya bangun pagi di rumah sendiri. Ah, benar-benar tidur yang nyenyak dan mimpi yang produktif.***


Tulisan ini merupakan refleksi atas pendidikan Seminari Menengah Mertoyudan, dalam rangka Reuni Lintas Angkatan pada bulan Juni 2016. Terima kasih untuk para Pendidik.

No comments: