Thursday, December 27, 2007

Keluarga Adil Jender

oleh Indro Suprobo Suatu hari selepas maghrib, di sebuah perkampungan sederhana, terjadilah dialog kecil dalam sebuah keluarga muda. Suami istri dalam keluarga itu keduanya bekerja di tempat yang berbeda dan telah dianugerahi buah hati yang telah menikmati pendidikan tingkat sekolah dasar. Dalam dialog itu, sang istri mengajukan pertanyaan apakah mereka berencana untuk memiliki anak lagi ataukah tidak. Di luar dugaan sang istri, sang suami justru mengajukan dua pilihan sebagai bahan pertimbngan. Pilihan pertama adalah memiliki anak lagi dengan resiko sang istri akan hamil dan mengundurkan diri dari beragam aktivitas produktif selama kurang lebih dua tahun. Pilihan kedua adalah tidak hamil lagi, tetapi sang istri mempunyai waktu lebih banyak untuk beraktivitas secara produktif. Di luar dugaan sang istri pula, ternyata sang suami lebih cenderung mengambil pilihan kedua, yakni tidak hamil lagi. Alasannya, ia menganggap bahwa pilihan beraktivitas produktif bagi istrinya itu akan memiliki dampak yang jauh lebih positip bagi keduanya. Melalui beragam aktivitas produktif itu, sang istri akan memiliki pertumbuhan diri yang lebih subur dalam banyak aspeknya, baik itu aspek intelektual, sosial, emosional, maupun ekonomis. Resikonya, suami istri ini harus memiliki manajemen waktu yang bagus, terutama berkaitan dengan pembagian tugas dan peran dalam mendidik anaknya. Mereka bersepakat untuk saling berganti peran ketika salah satu sedang menjalankan tanggungjawab dalam aktivitas publik. Sudah merupakan hal yang biasa bagi keduanya apabila sang istri sedang menjalankan tanggungjawab kantor di luar pulau selama beberapa hari, sang suami secara penuh melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak sendirian. Mencuci, berbelanja di pasar tradisional, memasak, bersih-bersih rumah, memandikan anak, menyuapi, dan mendongeng untuk anak, bahkan mewakili istri untuk menghadiri arisan ibu-ibu di kampung, merupakan aktivitas harian yang dijalankan dengan ringan hati tanpa merasa sebagai hal yang tabu. Sudah menjadi kewajaran pula bagi para tetangga apabila pagi-pagi sekali sang suami itu tergopoh-gopoh mencari bawang putih dan loncang seledri di warung sebelah karena persediaan habis ketika sedang menyiapkan sop cakar ayam untuk sarapan anaknya. Manajemen waktu harian yang disepakati, berbagi informasi tentang agenda kegiatan, bergantian menemani anak dalam bermain sambil belajar, berbagi gagasan tentang cara mengatasi persoalan pekerjaan masing-masing, dan yang tidak boleh dilupakan juga dalam keseluruhan itu adalah berbagi pujian-pujian kecil sederhana sebagai bentuk dukungan dan penghargaan satu sama lain, merupakan sarana-sarana nyata dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai keadilan jender dalam keluarga. Berkaitan dengan KB, sang istri dibebaskan dari segala alat kontrasepsi yang sejatinya memiliki banyak resiko bagi tubuhnya. Suamilah yang ber-KB dengan alat kontrasepsi laki-laki yang paling aman dan tanpa resiko bagi keduanya. Partnership atau persahabatan suami-istri dalam keluarga menjadi istilah kunci, bukan kuasa dan dominasi. Salah kaprah kodrat Pantas diakui bahwa dalam pengalaman sehari-hari masih sering terjadi salah kaprah dalam memahami arti kodrat baik itu oleh laki-laki maupun perempuan sendiri. Kodrat sebagai ciri dasar inheren yang membedakan dan tak dapat dipertukarkan satu sama lain antara laki-laki dan perempuan (menstruasi, melahirkan dan menyusui) masih sering disamakan dengan beraneka macam peran yang sesungguhnya tidak inheren, dapat dipertukarkan dan merupakan konstruksi sosial budaya (peran domestik dan publik). Segala macam pernik-pernik urusan rumah tangga seperti menyapu, memasak, memandikan anak, mencuci dan menyeterika pakaian, berbelanja dan sebagainya masih sering dicangkokkan ke dalam peran perempuan secara sepihak dan tak dapat dipertukarkan. Dalam konteks sosial budaya tertentu dan terbatas, ketika laki-laki menjalankan hal-hal itu memang terdapat anggapan tabu. Dalam konteks sosial budaya yang lain hal semacam itu sudah merupakan kebiasaan yang tidak menimbulkan masalah apapun. Pembagian dan pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan akan menimbulkan masalah ketika salah satu pihak masih memiliki pemahaman yang keliru tentang kodrat, entah itu pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ketika keduanya telah mengatasi persoalan pemaham tentang kodrat, yang harus dihadapi tinggal pandangan lingkungan sekitar tentang hal itu, yang seringkali terlontar dalam komentar atau pertanyaan bernada menggugat. Feminismophobia Perjuangan keadilan jender di seluruh dunia memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah gerakan feminisme yang berkembang sesuai dengan konteks sosial-politik-ekonomi-budaya jamannya. Masing-masing konteks menampilkan wajah feminisme yang khas dengan fokus utama tertentu namun senantiasa berkait satu sama lain. Mary Wollstonecraft (1759-1797) yang lahir dalam sebuah keluarga yang didominasi oleh ayah yang cerewet, pemalas, dan sering melakukan kekerasan saat mabuk, sementara sang ibu merupakan perempuan yang menerima dan membiarkan semua itu, adalah peletak dasar gerakan feminisme di Inggris. Bukunya yang berjudul A Vindication of The Rights of Woman (1792), menjadi batu pondasi bagi feminisme modern. Ia menyebut tirani rumah tangga sebagai penghalang utama bagi keadilan perempuan. Peminggiran terhadap hak politik, pendidikan, dan pekerjaan yang setara antara laki dan perempuan merupakan tirani. Standar ganda terhadap perilaku laki-perempuan, ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap suami, model pendidikan yang membuat perempuan menjadi subordinat, pembagian kerja yang tidak seimbang dan membuat perempuan harus mengorbankan kesehatan, kebebasan dan pertumbuhan pribadi mereka, merupakan hal-hal yang harus dihapus. Semuanya itu adalah konstruksi, bikinan manusia dalam sejarah kebudayaan dan bukan kodrat. Bagi sebagian kalangan yang masih terbuai oleh bawah sadar patriarkis (baik laki-laki maupun perempuan), kritik semacam ini terasa sangat tajam seumpama menunjam sampai ke ulu hati dan menimbulkan resistensi. Ini dapat dipahami karena kritik feminisme ini merupakan alat yang membedah dan mengurai ketidakadilan terhadap perempuan secara mendalam dan radikal sampai kepada wilayah paling privat dalam kehidupan. Ketidaksiapan dalam menghadapi kritik semacam ini di satu pihak dan strategi komunikasi sebagian kecil kaum feminis sendiri yang barangkali kadang-kadang kurang arif, pada gilirannya justru menimbulkan penolakan dan ketakutan terhadap feminisme. Pada gilirannya, gerakan feminis lalu cenderung dipahami secara sangat sempit dan tidak proporsional sebagai gerakan kaum perempuan yang menolak, menyerang, dan anti laki-laki. Ada pula yang menganggap gerakan feminisme sebagai gerakan sekumpulan perempuan yang kecewa. Lebih heboh lagi, beberapa kalangan (bahkan ada pula yang terpelajar), justru menempatkan feminisme sebagai aktor utama yang menimbulkan keretakan dan perpecahan banyak keluarga dewasa ini. Proyek Kebudayaan Usaha menegakkan keadilan jender, keadilan bagi laki-laki dan perempuan, merupakan usaha yang masih harus diperjuangkan dan dilanjutkan sepanjang sejarah kemanusiaan dan kebudayaan. Karena ketidakadilan jender yang selama ini dialami terutama dan pertama-tama oleh kaum perempuan itu merupakan sebuah konstruksi sosial-budaya, maka keadilan jender pun merupakan sebuah langkah konstruktif secara sosial dan budaya. Ini merupakan usaha mengurai nilai-nilai yang telah berkelit dan bekelindan dalam bawah sadar kebudayaan, mengambil jarak terhadapnya, memilahnya, menyusun kembali dan menambahkan nilai baru ke dalamnya, dan mengangkatnya ke dalam kesadaran, serta menjagainya sebagai kesadaran baru melalui beragam tata cara dan kebiasaan sehingga seluruh wujud keadilan itu menjadi kewajaran. Keluarga adalah unit paling kecil dan utama dalam seluruh usaha ini. Mewujudkan keadilan jender dalam keseharian hidup keluarga, sejak dalam cara berpikir sampai pada tindakan praktis dan spontan, merupakan langkah bersahaja namun agung dalam menyusun kebudayaan manusia yang baru. Dialog dan kesepakatan pilihan sebagaimana tercermin dalam sebuah keluarga yang penulis jumpai pada awal tulisan kecil ini adalah salah satu contoh nyata dari sekian banyak contoh yang dapat ditemukan di berbagai tempat. Tantangan di depan masihlah banyak, terutama dalam kaitan antara keadilan jender dan agama-agama di Indonesia. Sebagian besar kalangan masih beranggapan bahwa agama-agama itu telah selesai dan sempurna dalam menuntun kemanusiaan. Padahal, pantaslah diakui dalam kerendahan hati bahwa agama-agama adalah kebudayaan yang masih selalu berziarah dalam ketidakcukupan dan kerentanan untuk menggapai keagungan yang mahaluas.*** (Artikel pernah dikirim ke KOMPAS Jogja, ditolak)

No comments: