Thursday, December 27, 2007

Teologi Sosial dan Keadilan

oleh Indro Suprobo Tulisan Mohammad Nasih berjudul “Korupsi dan Atheisme Praksis” dan tulisan AR Damyati berjudul “Intelektualitas dalam Islam” (Republika, 05/10/07) adalah dua tulisan terpisah yang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut sebagai kesatuan korelatif. Mohammad Nasih menguraikan inti gagasan yang tegas dan penuh komitmen bahwa korupsi sesungguhnya merupakan praktik syirik sosial yang dosanya paling besar dan tak terampuni. Dalam kerangka ini, orang yang khusyuk menjalankan ritual agama namun tetap tenang menjalankan praktik korupsi sebenarnya sedang melakukan hal yang sangat kontradiktif. Sementara itu, AR Damyati memaparkan adanya dua jenis intelektual secara garis besar, yakni intelektual profetik dan intelektual diabolik. Perbincangan mengenai kaitan antara religiositas secara luas atau hidup beragama secara lebih khusus, intelektualitas dan praksis sosial sehari-hari dalam studi tentang spiritualitas dirangkum dalam apa yang disebut sebagai spiritualitas integral (holistic spirituality). Spiritualitas integral secara simbolik memandang kehidupan terbedakan dalam tiga kategori dasar yakni kehidupan imami (berkaitan dengan hidup beriman atau beragama), kehidupan rajawi (berkaitan dengan hidup sekular/duniawi), dan kehidupan kenabian (berkaitan dengan sikap kritis atau pengambilan jarak terhadap dua kategori yang lain). Ketiga kategori ini selanjutnya dapat disebut sebagai dimensi. Secara sederhana, spiritualitas integral membedakan tiga dimensi kehidupan namun ketiganya merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Dimensi imami secara mudah dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan religiositas, iman atau keagamaan. Dimensi rajawi dipahami sebagai segala seluk beluk berkaitan dengan kehidupan duniawi yang meliputi politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Dimensi kenabian atau dimensi profetis dipahami sebagai seluk beluk yang berkaitan dengan pengambilan jarak, sikap kritis, pengingatan kepada nilai utama dan mendasar, serta perutusan tugas kenabian). Dimensi imami yang terlepas dari dimensi rajawi akan menempatkan kehidupan keagamaan dalam menara yang tidak memiliki pertanggungjawaban kepada kehidupan nyata sehari-hari. Orang akan sibuk menjalankan ribuan ritual agama namun tak pernah punya perhatian dengan kemiskinan dan ketidakdilan di sekitarnya. Orang beragama yang melakukan korupsi adalah contoh konkret dari situasi ini. Dimensi rajawi tanpa kaitan dengan dimensi imami akan menjadikan manusia terlalu dicengkeram oleh kehidupan duniawi dan membahayakan kemanusiaan karena dekat dengan ketamakan, kuasa, ketidakpedulian dan sebagainya. Intelektual yang haus akan kedudukan dan kekayaan yang tak peduli kepada kemelaratan ribuan tetangga adalah contohnya. Inilah yang oleh AR Damyati disebut sebagai intelektual diabolik atau dalam istilah yang lain disebut sebagai intelektual yang mengabdi kepada kuasa mamon, dajjal. Sebaliknya, dimensi imami yang sangat kental berkarib dengan dimensi rajawi, tanpa dilengkapi dimensi profetis, akan membuat kehidupan agama cenderung bersekongkol dengan kekuasaan (politik maupun ekonomi) dan tetap beresiko untuk melupakan mereka yang terpinggirkan. Ketika ini terjadi, agama dapat jatuh sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang membuat mereka yang mengalami kemiskinan secara struktural harus menerima itu sebagai sebuah kesabaran dan ujian dari Tuhan, bukan sebagai ketidakadilan yang sebenarnya harus dilawan karena membawa kepada kekufuran. Dalam konteks terbatas inilah sebenarnya Karl Marx mengkritik agama sebagai candu masyarakat dan menyeru agar agama menjalankan fungsi dasar profetiknya sebagai rahmat bagi manusia yang menumbuhkan iman, rasa aman, keadilan, pembebasan dari kemiskinan dan penindasan, serta menghadirkan perdamaian. Teologi Sosial Salah satu perspektif dalam studi teologi keagamaan yang secara khusus memperhatikan kaitan antara kehidupan beriman, intelektualitas dan kenyataan hidup sosial adalah teologi sosial. Ini merupakan sebuah rangkaian pertanggungjawaban integral antara iman keagamaan, analisis sosial, dan kenyataan ketidakadilan. Teologi sosial berusaha menjawab tantangan bagaimana hidup keimanan seseorang musti terwujud dalam praksis sosial di tengah situasi ketidakadilan yang nyata. Nilai-nilai iman manakah yang mendasari seseorang untuk mengambil pilihan sikap dan tindakan dalam situasi konkret yang tidak adil dan mendatangkan banyak penderitaan bagi masyarakat. Dalam bingkai spiritualitas integral, teologi sosial merupakan salah satu wujud nyata perjumbuhan total (holistic integrality) hidup iman keagamaan dalam realitas dunia yang penuh ketidakadilan, yang disinari oleh analisis sosial-struktural pendorong pilihan sikap dan tindakan nyata penuh keberpihakan demi keadilan. Kehidupan Nabi Muhammad sendiri merupakan teladan tak tersangkal dari praksis teologi sosial yang semestinya lebih dihidupkan lagi dalam konteks kehidupan sekarang ini. Iman Muhammad kepada Allah yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah kehidupan fakir miskin merupakan bukti nyata. Itulah sebabnya beliau disebut nabi karena seluruh hidup beliau menampakkan secara sangat gamblang dan sempurna dimensi kenabian itu di tengah masyarakat. Dakwah dan seruan beliau kepada saudagar-saudagar kaya di Mekah merupakan pilihan sikap yang tegas berdasarkan iman kepada Allah. Al-Qur’an menyebutkan,”Mereka mengumpulkan kekayaan dan menimbunnya, mereka mengira kekayaannya akan mengekalkannya. Sama sekali tidak! Mereka akan dilontarkan ke dalam Huthamah. Apakah Huthamah itu? Yaitu api yang dinyalakan Allah…”(Al-Qur’an 104)[Asghar Ali Engineer,2000]. Teologi sosial dalam Islam merupakan sebuah usaha nyata untuk menggapai apa yang disebut sebagai ketaqwaan karena teologi sosial memiliki perhatian yang sangat serius terhadap persoalan ketidakadilan. Sementara dalam Al-Qur’an, ketaqwaan itu tidak dapat dilepaskan dari keadilan. “Berlakulah adil, dan itu lebih dekat kepada taqwa” (Al-Qur’an, 5:8). Sangatlah jelas dipahami bahwa ketaqwaan dalam Islam tidak hanya dipersempit dalam segala pernak-pernik menjalankan ibadah ritual saja. Ketika ketidakadilan hadir secara nyata dalam kehidupan, ketaqwaan tergusur ke pinggiran. Ketika ketaqwaan meraja, keadilan semestinya memancar sebagai fajar. Seruan adzan Allahu Akbar! Allahu Akbar! adalah seruan kesaksian bahwa hanya Allahlah yang mahabesar sehingga tak dapat ditolerir jika ada monopoli dalam kehidupan dunia ini. Segala macam monopoli politik, ekonomi, sosial, budaya merupakan peminggiran terhadap persaksian agung ini. Menumpuk kekayaan tanpa peduli dan korupsi bertubi-tubi juga merupakan bentuk monopoli yang meminggirkan kesaksian ini. Seruan adzan adalah seruan untuk menghadirkan ketaqwaan dan keadilan secara nyata dalam kehidupan. Dalam kehidupan modern, ada banyak contoh bagaimana teologi sosial menjadi daya dorong perubahan sosial sebagai tanggapan penuh pertanggungjawaban atas situasi ketidakadilan yang dihadapi. Salah satu contoh yang dapat disebut adalah revolusi Islam Iran oleh Ayatollah Khomeini. Westernisasi dan pembangunan di Iran yang tidak profetis, yang hanya menguntungkan sekelompok elit kecil dan tidak berakar pada masyarakat telah mengakibatkan pengasingan terhadap kehidupan religius dan kebudayaan. Terjadilah apa yang disebut sebagai migrasi besar-besaran dari pedesaan ke perkotaan yang serba kacau. Desa-desa menjadi semakin miskin dan terpinggir. Orang desa yang berpindah ke kota tidak juga mendapatkan secuil harapan kecuali kemiskinan, penderitaan, dan penuh kebencian harus menyaksikan segelintir orang yang bergelimang kekayaan melalui korupsi, yang sama atinya dengan mencuri hak kaum papa tak terperi. Konteks inilah yang membuat kharisma Ayatollah Khomeini diterima oleh mayoritas rakyat Iran yang sengsara dan terpinggirkan untuk menjalankan sebuah perubahan revolusioner berdasarkan nilai-nilai religius Islami, yang diterangi oleh analisis sosial yang konkret. Struktur sosial ekonomi politik yang menyengsarakan ribuan rakyat adalah struktur dosa tanpa rahmat. Struktur ini musti digantikan oleh struktur rahmat, yakni struktur kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan Islam sebagai rahmat bagi kemanusiaan. Teologi sosial sebagaimana ditampakkan oleh revolusi Islam Iran menunjukkan wajah yang anti kemapanan atau status quo. Wajah kehidupan sosial yang kurang lebih sama, dapat dijumpai juga dalam konteks Indonesia. Kemelaratan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, ketidakmampuan banyak keluarga untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, kemewahan segelintir orang yang asyik dengan segala macam konsumsi, dan meluasnya korupsi merupakan tantangan nyata bagi teologi sosial agama di Indonesia. Tantangan teologi sosial menjadi jauh lebih besar karena kecenderungan agama-agama untuk berasyik mesra dengan ideologi pasar juga telah semakin membesar. Peran profetis kenabian yang menyeru lantang untuk menghadirkan keadilan dan ketaqwaan semakin menjadi tuntutan. Setiap orang beragama dipanggil untuk tugas berat dan mulia ini. Seluruh ceramah, dakwah, dan gerakan keagamaan sudah semestinya lebih digiatkan sebagai praksis nyata integral teologi sosial, agar kehidupan keimanan dan keagamaan tidak terpenjara dan terasing di menara gading. Panggilan adzan dari seribu mushala setiap hari, merupakan peringatan yang semoga saja semakin mengusik segala hati. (Artikel ini pernah dikirim ke Republika, tanpa kabar)

No comments: