Thursday, December 27, 2007

Teologi Kisah dan Sejarah Yang Patah

oleh Indro Suprobo

Salah satu buku yang menyediakan analogi sangat bagus untuk melukiskan tragedi manusia dan kemanusiaan dalam sejarah Indonesia tahun 1965 adalah novel kecil karangan almarhum Pramoedya Ananta Toer berjudul Calon Arang. Novel kecil ini bercerita tentang kekuatan mantra seorang pendeta bernama Calon Arang yang tinggal di sebuah desa dalam wilayah kerajaan Daha, pada masa pemerintahan raja Erlangga. Mantra-mantra sakti mandraguna ini mengakibatkan penyakit, penderitaan dan kematian bagi ratusan ribu bahkan jutaan penduduk di desa-desa, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang masih menyusu di dada ibu. Mereka yang terkena penyakit, penderitaan, bahkan kematian ini, seringkali tak pernah mengetahui alasan mengapa mereka harus menjadi korban. Yang lebih mengerikan lagi, mereka tak memiliki kekuatan sedikitpun untuk menangkal mantra sakti mandraguna ini. Satu-satunya pilihan adalah menghadapi sakit, penderitaan, atau kematian.

Sang pendeta Calon Arang melakukan semua ini karena marah dan kecewa bahwa anak perempuannya yang cantik jelita, Ratna Manggali, tak juga dipersunting sebagai istri oleh seorang lelaki. Namun anehnya, ketika Empu Bahula, seorang murid Empu Baradah, telah menikahi Ratna Manggali, sang pendeta Calon Arang tidak juga menghentikan mantra-mantranya. Penyakit, penderitaan, dan kematian semakin merajalela ke seluruh penjuru negeri Daha. Terpaksalah, Empu Baradah harus mempelajari Kitab Bertuah milik sang pendeta untuk mengalahkannya dengan mantra-mantra pula. Bahkan mantra-mantra dari Kitab Bertuah itu dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dan menghidupkan orang-orang yang sudah dijemput kematian. (Pramoedya, 2003)

Mantra dalam Sejarah
Pasca drama subuh 1 Oktober 1965, ada mantra yang telah disebarkan dalam sejarah yang pada gilirannya telah mengakibatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan manusia dan kemanusiaan Indonesia menjadi manusia dan kemanusiaan yang patah. Dengan kuasa magisnya, mantra itu telah menyihir kesadaran massa dan menggerakkan sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan ratusan ribu korban. Laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak telah menanggung penderitaan bahkan kematian tanpa pernah mengetahui apa yang menjadi alasan dan kesalahan. Tragedi itu berlangsung selama bulan oktober sampai dengan desember 1965.

Mantra yang disebarkan itu berisi sebuah dakwaan bahwa kaum komunis dan perempuan Gerwani telah melakukan aniaya kepada para perwira di Lubang Buaya. Apa yang digambarkan sebagai aniaya (mencungkil mata, menyayat tubuh, memotong kemaluan perwira) melalui beragam media itu sejatinya tak pernah ada. Visum et repertum atas jenasah para perwira di Lubang Buaya yang dijalankan oleh para dokter ahli Roebiono Kertopati, Frans Pattiasina, Sutomo Tjokronegoro, Liauw Yan Siang, dan Lim Joe Thay menjadi bukti nyata bahwa penggambaran aniaya itu tak berdasar fakta (Dhakidae, 2003 dan M.R. Siregar, 2007). Namun malang tak bisa dihadang, mantra-mantra itu tetap saja disebar ke mana-mana. Ia telah menyihir kesadaran dan bertahta sebagai satu-satunya kebenaran. Mantra yang penuh daya magis dan kuasa itu telah menyulut emosi massa yang dengan segera, dalam dukungan penuh angkatan bersenjata, semua warga melakukan pembalasan dengan aniaya tiada terkira yang mengakibatkan sengsara dan hilangnya nyawa ratusan ribu manusia yang sebenar-benarnya adalah saudara. Pada saat itu, semua orang beragama menunjukkan wajah kontradiktifnya yang sempurna.

Inilah mantra yang mematikan dan melukai seluruh kemanusiaan. Mantra ini pulalah yang telah menjadikan ratusan ribu manusia secara terpaksa harus memasuki pengalaman kalah dan menciptakan sejarah yang patah. Sampai saat ini, mantra-mantra sakti mandaraguna ini tampaknya masih cenderung terus-menerus dijaga, diuri-uri kuasa magisnya agar lestari melalui banyak cara dan merasuki setiap relung institusi. Pembakaran buku-buku, hanyalah salah satu saja dari sekian banyak caranya.

Teologi Kisah bagi Kaum Patah
Kuasa magis mantra yang telah bertahta sebagai pemenang, pemilik tunggal wewenang, dan penentu kebenaran di hampir setiap lubuk kesadaran selama puluhan tahun itu, pada gilirannya telah menciptakan kaum kalah yang tak berhak memiliki kisah. Merekalah yang disebut sebagai kaum patah di dalam perjalanan sejarah.

Kaum patah dalam sejarah Indonesia sebenarnya adalah para saudara sendiri yang karena mantra politik tahun 1965 dipaksa untuk diam dan kehilangan hak untuk berkisah. Jika tercium gelagat bahwa mereka akan mulai berkisah, dapat dipastikan bahwa mereka akan bertemu dengan pemeriksaan dan kesulitan. Kaum patah dalam sejarah Indonesia adalah para saudara sendiri yang oleh mantra politik telah disulap dan disihir menjadi orang luar yang harus dihindari. Mereka adalah kawan-kawan yang oleh mantra politik telah disihir menjadi lawan. Mereka adalah para sahabat yang oleh mantra politik telah disulap menjadi penjahat dan pengkhianat. Mereka adalah para gadis, para istri dan perempuan berhati luhur namun oleh mantra politik telah disihir menjadi gerombolan pelacur. Oleh karena itu, seluruh haknya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, cenderung dipinggirkan tanpa rasa hormat. Pada akhirnya, seluruh struktur telah memaksa mereka untuk terus-menerus berada di pinggiran sejarah tanpa kisah dan mendekam dalam lingkaran ketidakberdayaan.

Karena ditempatkan sebagai yang tak memiliki hak untuk berkisah, kaum yang patah telah dibungkam untuk tidak memiliki andil dalam membangun dan merumuskan sejarah. Pembungkaman dan peminggiran, yang ujung-ujungnya seringkali merupakan proses pemiskinan, sebenarnya merupakan bagian integral dari tindak ketidakadilan. Berhadapan dengan hal ini, semua agama dan religiositas memiliki sikap dan penentangan yang tegas. Tantangan agama-agama dan religiositas di Indonesia adalah membebaskan para pemeluknya dari ketidakadilan ini.

Dalam perspektif teologi kristiani, realitas penderitaan dan ketersingkiran kaum patah yang tak punya hak untuk berkisah, adalah tempat paling keramat bagi kehadiran Allah. Tantangan teologi kristiani yang paling nyata di sini adalah bagaimana memaknai kehadiran Allah yang peduli kepada sejarah dan berempati kepada kaum patah yang terbungkam untuk berkisah. Teologi kristiani diundang untuk menemukan wajah Allah yang tersembunyi di tempat keramat ini dan mempertanggungjawabkannya sebagai wujud nyata iman dalam praksis hidup sehari-hari.

Salah satu gambar Allah dalam teologi kristiani adalah Allah yang menyejarah. Ia berempati kepada kaum yang terbelenggu dan susah, serta berpihak kepada mereka yang berjerih payah memerdekakan diri membangun kisah dan membentuk sejarah sebagai umat perjanjian Allah. Allah yang menyejarah dengan demikian adalah Allah yang terus-menerus terlibat membangun kisah.

Mantra vs Kisah
Mantra-mantra dalam sejarah yang telah membungkam para korban tragedi manusia tahun 1965 adalah mantra-mantra yang membelenggu pikiran dan mematikan kemanusiaan. Mantra-mantra itu menyihir kesadaran sehingga tak lagi memiliki kejernihan untuk memandang kemanusiaan. Kesadaran yang telah tersihir tak lagi punya kemampuan untuk mengambil pilihan.

Sebaliknya, kisah adalah untaian kesadaran. Membangun sebuah kisah adalah proses menyusun beragam kesadaran tentang segala sesuatu dalam untaian yang membawa pemahaman sekaligus keindahan. Menyusun kisah adalah langkah membebaskan pikiran dari aneka macam belenggu . Dengan berkisah, pikiran orang tidak lagi menjadi patah dan terbelenggu, melainkan sebaliknya, pikiran itu justru mematahkan semua yang menjadi belenggu.

Pengharapan sekaligus Pembebasan
Empati dan keberpihakan kepada kaum yang patah, adalah salah satu wujud nyata dari sikap dasar preferential option for the poor yang pada gilirannya menjadikan teologi kristiani sebagai experiencial theology yang dibangun dari, oleh, bersama dan bagi pengalaman kaum patah. Dalam bingkai ini, teologi kisah bukanlah sebuah teologi kristiani yang secara politik bersifat netral, melainkan sebuah teologi yang jelas-jelas berpihak kepada kaum patah yang kehilangan hak untuk berkisah. Kenyataan peminggiran kaum patah oleh mantra-mantra sejarah, tidak menyediakan pilihan bagi teologi untuk bersifat netral, karena dalam realitas semacam itu, netralitas teologi kristiani hanya akan membawanya menjadi alat peneguh peminggiran, penindasan dan menjadi karib bagi kaum status quo yang selalu setia menjaga mantra (John Bowden,2005).

Teologi kristiani yang terlibat dalam pengalaman kaum patah tanpa kisah ini dengan demikian menjadi sebuah teologi pengharapan yang merefleksikan pengalaman-pengalaman penderitaan dan menemukan nilai-nilai dasar untuk bergelut dan bertahan sampai pada batas daya tahan. Namun sekaligus ia menjadi sebuah teologi pembebasan yang merefleksikan seluruh proses pemerdekaan kaum patah tanpa kisah dari segala belenggu mantra politik. Ia menyediakan refleksi kritis teologis mengenai kemendesakan kebutuhan transformasi dari kaum patah tanpa kisah yang terbelenggu mantra-mantra menuju kepada kaum berkisah yang memiliki kemerdekaan pikiran dan kemanusiaan. Ia menjadi teologi yang memberi kerangka iman bagi sebuah gerakan pembebasan dan terus-menerus berjuang dalam keberpihakan untuk mengubah struktur dosa yang dipenuhi mantra menjadi struktur rahmat dan anugerah yang menyediakan ruang luas untuk berkisah.
Pantaslah dikemukakan di sini bahwa pembebasan yang dimaksudkan ini mempunyai dua sisi, yakni pembebasan para korban sendiri (kaum patah tanpa kisah) sekaligus pembebasan bagi seluruh generasi kemudian. Kaum patah yang terus menerus berjuang untuk dapat berkisah, akan membebaskan pikiran dari belenggu mantra. Generasi kemudian yang mendengarkan dan berbagi kisah juga akan mengalami pembebasan dari segala mantra. Kisah-kisah ini akan membuka kepada pemahaman mengenai mengapa dan apa yang senyatanya terjadi, dialami, dirasakan, dipikirkan dicita-citakan, dan apa yang semestinya bisa diubah dalam sejarah. Berbagi kisah ini sendiri merupakan sebuah langkah konsientisasi yang sekaligus merupakan langkah pembebasan pada tingkat paling dasar, yakni pembebasan pikiran (Alan Richardson dan John Bowden, 1983). Berbagi kisah yang merupakan konsientisasi ini, selanjutnya menjadi langkah nyata bagi rekonsiliasi. Melalui cara ini, kehormatan, harkat dan martabat kemanusiaan kaum patah dapat diangkat dan dihidupkan. Dengan cara ini generasi kemudian tidak lagi terpecah oleh luka batin sejarah, melainkan memiliki kesanggupan untuk saling mengutuhkan. Pada akhirnya, kaum patah dan semua manusia lintas generasi akan bersama-sama dalam kemerdekaan membangun dan menjalin kisah sekaligus menguntai sejarah.


(Artikel yang ditolak oleh KOMPAS)

No comments: